HADITS DI MATA ORIENTALIS
Sejarah
Orientalis
Pada awalnya, orientalisme adalah salah
satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi. Ia memiliki
tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari
kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan
pilot project bagi kebudayaan seluruh dunia[1].
Pada perkembangan lebih lanjut, antropologi
kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished
terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih
berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur
tengah, timur selatan. Kajian tersebut meliputi berbagai hal, budaya, adat,
norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Dalam bukunya, Orientalism, Edward
said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam
meneliti agama Islam, khususnya hadits, bukanlah pekerjaan yang non profit
oriented[2].
Mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan
itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba
menghancurkannya pelan-pelan dari dalam[3].
Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu
adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki
persentase sangat kecilI[4].
Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan
hanafi cs untuk membalas perlakuan mereka dengan giliran balik menyerang
kebudayaan barat dengan cara mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang
sistematis mencoba menggerogotinya dari dalam[5].
Mereka memilih hadits dalam upayanya untuk
menyerang umat Islam karena kedudukan hadits yang sangat penting dalam
kehidupan kaum muslim. Hadits adalah sumber hukum kedua setelah al Quran
sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri[6].
Mereka lebih memilih menyerang hadits ketimbang al Quran, karena hadits
hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur
negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena
al-Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua
unsur negatif[7].
Persepsi
Orientalis Terhadap Hadist
Ada tiga hal yang sering dikemukakan
orientalis dalam penelitian mereka terhadap al Hadits, yaitu tentang para
perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadits.
Pertama,
Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak
meriwayatkan hadits dari rasulullah. Seperti yang kita ketahui bersama para
sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak
menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali.
Namun yang banyak meriwayatkan hadits adalah sahabat-sahabat junior dalam
artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam
daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadits tempat teratas diduduki oleh
sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu
hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu Hurairah
selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih
dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan
demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas. Suatu jumlah yang fantastis yang
sangat jauh dengan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh para khulafaur rasyidin
yang kalau digabung bahkan tak mencapai 3500 hadits.
Kritikan para orientalis banyak ditujukan
kepada Abu hurairah dan Sayyidah Aisyah, dua sahabat periwayat hadits paling
banyak[8].
Abu Hurairah dikecam karena pertentangannya dengan para sahabat mengenai
kesalahannya dalam periwayatan hadits, seperti yang diutarakan oleh Abu bakar :
“Kalau saja saya mau,
saya bisa menceritakan semua hal yang pernah saya ketahui bersumber dari
rasulullah dan berita dari sahabat yang lain tentang diri beliau, mungkin ini
akan menghabiskan waktu berhari-hari, namun saya takut apa-apa yang saya
sampaikan nantinya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi entah
kenapa orang itu (Abu hurairah) tiada berhenti bercerita tentang nabi
seakan-akan dia mengetahui segala hal tentang Nabi[9].”
Riwayat lain juga menyebutkan komentar
Sayyidina Umar ibn khatab tentang Abu hurairah,
"pembohong
terbesar diantara perawi hadits adalah Abu hurairah dan aku akan
memenjarakannya bila dia tidak berhenti meriwayatkan hadits"[10].
Kritikan
tidak kalah tajamnya juga diterima oleh Sayyidah Aisyah, pertempurannya dengan
Sayyidina Ali dalam perang jamal, adalah sebuah bukti nyata bagi umat islam
untuk mempertanyakan sifat adil adalah yang dimiliki beliau, karena bagaimana
mungkin seseorang yang melakukan tindakan bughat terhadap khalifah yang
terpilih secara sah masih bisa disebut dengan adil, dan kalau sudah tidak adil
apakah hadits-haditsnya masih layak pakai.
Kedua, Tidak
cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu
dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala
negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadits
dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan,
perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang
berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan
dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk
disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain
seorang Muhammad[11].
Ketiga,
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan
hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga
perlu mendapat perhatian khusus[12].
Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian
hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomery watt, salah
seorang orientalis ternama saat ini :
"Semua
perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk
tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan
secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui
ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya
dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Kritik
Atas Persepsi Orientalisme
Seperti dinyatakan Lutfi Asy-aukani ‘Terlalu
banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka
tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga
bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan
metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu
menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum muslim. Lebih lanjut ia mengatakan
“Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan
rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan
peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama
ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis,
kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Alquran.”
Hal diatas adalah sebagian
dari pemikiran Orientalis tentang Islam, lebih spesifik lagi tentang hadits.
Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar
kita bisa melihat hadits, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya
dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain,
yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih
kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa
mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran
bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
[1] Lihat Islamia
[2] Edward Said, Orientalisme,
[3] Sejak Edward Said
melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis tentang sejarah
pembentukan Islam menjadi sebuah anatema (sesuatu yang kurang disukai). Sarjana
muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap Alquran, atau Hadis, atau
sejarah Nabi Muhammad, akan ragu, karena mereka khawatir disamakan dengan para
orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.
[4]Melihat dari sisi ini, saya kira cukup tepat juga kalau dibedakan
antara orang orientalis dan Islamog. Seorang Islamog walaupun dalam
kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari kajian-kajiannya hampir banyak
bertentangan dengan anggapan-anggapan mayoritas kaum muslim, namun semangat
mereka dalam melakukan penelitian dan penelahaannya terhadap sumber-sumber
islam murni semangat intelektual. Salah seorang islamog terkemuka pada saat ini
bernama Luxemberg. Dalam kesimpulannya mengenai bahasa yang
dipergunakan Al-Qura’n, ia menyatakan bahwa bahasa yang dipergunakan Al-Quran
adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat pada saat al-Quran turun. Hal ini
bisa buktikan dengan melacak pada beberapa dokumen kaum Qurais yang
dipergunakan. Tentu saja kesimpulan ini bertolak belakang dengan mayoritas kaum
muslim yang meyakini bahwa bahasa yang dipergunakan al-Qura’n adalah bahasa
tuhan. Ini dinyatakan dalam al-qur’an sendiri, Q.S.. “kami turunkan alquran
dengan bahasa arab”
[5] Kata Hasan Hanafi,
Oksientalisme
[6] Lihat,
[7] Q.S. 27-11 menyatakan “ kami menurunkan alquran dan kami pula yang
menjaganya”.
[8] Biodata Abu Hurairah
[9] HR.
[10] HR.
[11] Memang tak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan Kerasulan, nabi
Muhammad kerapkali melakukan kesalahan. Salah satu contoh adalah ketika
turunnya surat surat al-Anfal. Namun demikian, ia kemudian ditegor tuhan dan
dijelaskan kebenarannya. Dengan kata lain nabi Muhammad luruskan menjadi benar
oleh tuhan. Pada kejadian lain, tepatnya pada saat perang Badar, muhammad
ditanya oleh Ummar apakah keputusan nabi menempatkan barisan disalah satu
gunung adalah keputusannya sendiri atau keputusan tuhan. Nabi menjawab bahwa
itu keputusan dia sendiri. Umar memberikan komentar bahwa keputusannya itu
salah. Setelah nabi mendengar ini ia kemudian mengubah penempatan pasukannnya
di gunung lainnya yang lebi dekat dengan sumber mata air sesuai nasihat
Umar.
[12] Pengklasifikasian Hadist dimulai pada abad ketiga pada zaman
dinasti Umayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar