Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah
Para pembunuh
'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung
kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh
Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:
Sebagian besar
pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap
netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman.
Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan
'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu
orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[1]
Tetapi mereka
kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa
Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan
"de jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk
kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij,
kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum
Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan
yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan
untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang
sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa
Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn
Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami
luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh
seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]
Karena
sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij
akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran
Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam.
Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah.
Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu
Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah
mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang
disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu
menyatakan demikian:
Agama adalah
kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu)
Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan
rasional) ... [3]
Karena itu
ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa
Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[4]
Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham
Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang
bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan
bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan
ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari
Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa
Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya
mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus
(partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala
sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum
alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat
pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan
yang berpribadi personal God.
Baginya Tuhan
adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal
universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai
kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib,
pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya
sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep
Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang
mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat
("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah ("pembebas"
[Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah
menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela
paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut
sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum
Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang
mengingkari sifat-sifat Tuhan itu.
Lebih penting lagi, kaum
Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun
dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis
kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada
penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan
buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa
Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun
al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]
Khalifah
al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam,
memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal
(pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu,
Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim,
melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta
menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7]
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah,
berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan
Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara
yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8]
Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu
hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan
perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi])
berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9]
Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu
memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia
telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang
sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa
al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap
diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun
(198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya,
dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,
termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam."[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar