Senin, 18 November 2013

BIOGRAFI AZ-ZAMAKHSYARI


A. Historis-Biografis al-Zamakhsyarī

Al-Zamkhsyarī adalah orang Persia, seorang teolog dan ahli filologis Sebagaimana tertulis dalam Tafsîr al-kasysyaf, nama lengkap al-Zamakhsyarī adalah ‘Abd al-Qāsim Mahmūd ibn Muhammad ibn ‘Umar al-Khāwarizmī al-Zamakhsyarī,  atau Mahmūd ibn ‘Umar ibn Muhammad Ibn ‘Umar.[1] Tetapi ada juga yang menulis Muhammad Ibn ‘Umar Ibn Muhammad al-Khâwarizmî al-Zamakhsyarī.[2] Namun, dalam faktanya, beliau lebih dikenal dengan nama al-Zamakhzyarī, karena dinisbatkan kepada kota kelahirannya. Gelarnya adalah “Jâr Allah” (tetangga yang paling dekat dengan Allah) diperoleh karena berdiam beberapa lama di Makkah.  Beliau juga digelari dengan “Tāj Islām” (mahkota Islam) dan merupakan kebanggaan bangsa Khāwarizm.
Ia dilahirkan di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khāwarizmī pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, dari sebuah keluarga miskin, tetapi alim dan taat beragama. Ayahnya bernama ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Umar yang berkebangsaan Khawarizm (Turkistan), seorang ayah yang sangat memperhatikan pendidikan dan masa depan anaknya.  Dilihat dari masa tersebut, beliau lahir pada masa pemerintahan Sultan Jalāl al-Dīn Abī al-Fath Mālik Syāh (1072-1092 M) dengan wazirnya Nizhām al-Mulk, dimana Wazir ini terkenal sebagai orang yang aktif dalam pengembangan dan kegiatan keilmuan. Dia mempunyai ‘kelompok diskusi’ yang terkenal maju dan selalu penuh dihadiri para ilmuan dari berbagai kalangan.[3]
Sejak usia menjelang remaja, al-Zamakhsyarī sudah pergi merantau, meninggalkan desanya pergi menuntut ilmu pengetahuan ke Bukhara, yang pada masa itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, beliau merasa terpanggil untuk pulang sehubungan dengan dipenjarakannya ayah beliau oleh pihak penguasa dan kemudian wafat. Al-Zamakhsyarī masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulama terkemuka di Khawarizm, yakni Abū Mudhar al-Nahwī (w. 508 H). Berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan Abū Mudhar al-Nahwī, ia berhasil menjadi murid yang terbaik dengan menguasai bahasa dan sastra Arab, filsafat dan ilmu kalam.[4] 
Al-Zamakhsyarī adalah penafsir hebat, memiliki tradisi kenabian, grammar, literatur dan linguistik yang memadai. Dia juga merupakan salah satu pengikut fanatik sekte Mu’tazilah. Fakta ini tidak bisa dipisahkan dari lingkungan hidupnya, khawarizim, dimana mayoritas masyarakatnya berasal dari aliran Mu’tazilah. Al-Zamakhsyarī juga dikenal sebagai orang yang berambisi memperoleh kedudukan di pemerintahan. Setelah merasa tidak berhasil dan kecewa melihat orang-orang yang dari segi ilmu dan ahlak lebih rendah darinya diberi jabatan-jabatan yang tinggi oleh penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormatinya, yaitu Abû Mudhar. Keadaan itu memaksanya untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta pujian dari kalangan pejabat pemerintahan Abū al-Fath ibn al-Husayn al-Ardastanī serta pada masa ‘Ubayd  Nizhām al-Mulk. Di sana, ia diangkat menjadi sekretaris (kâtib), tetapi karena tidak puas dengan jabatan tersebut, ia pergi ke pusat pemerintahan Daulah Bani Saljuk, yakni kota Isfahan.  
Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa al-Zamakhsyarī selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Pertama, selain ahli bahasa dan sastra Arab, tetapi beliau juga seorang tokoh Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebarluaskan pahamnya dan ini membawa dampak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. Kedua, mungkin juga karena kurang didukung kondisi jasmaninya. Al-Zamakhsyarī memiliki cacat fisik, yaitu kehilangan satu kakinya.  Akan tetapi, setelah terserang sakit yang parah pada tahun 512 H, angan-angannya untuk mendapatkan jabatan di pemerintahan pun segera sirna. Al-Zamakhsyarī lalu melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di sini ia mengikuti pengajian hadis Abū al-Khattīb al-Batr Abī Sā’idah al-Syafanī, Abū Manshūr al-Hārisī dan mengikuti pengajian fikih oleh ahli fikih Hanafi, al-Dāmaghānī al-Syarīf ibn al-Syajarī.
Setelah banyak menimba pengetahuan, beliau bertekad membersihkan dosa-dosanya yang lalu dan menjauhi penguasa, menuju penyerahan diri kepada Allâh SWT. dengan melawat ke Mekah selama dua tahun. Di kota suci ini ia suntuk mempelajari kitab Sibawaih, pakar gramatika Arab yang terkenal (w. 518 H). Ia juga menyempatkan diri mengunjungi banyak negeri di jazirah Arab. Kerinduannya kepada kampung halaman membawanya pulang kembali. Setelah al-Zamakhsyarî menyadari usianya yang semakin lanjut, timbul lagi kegairahannya untuk pulang ke Mekah. Beliau tiba kembali di Mekah untuk kedua kalinya pada tahun 526 H dan menetap selama tiga tahun, yaitu tahun 526-529 H atau 1132-1135 M, bertetangga dengan baitullah sehingga mendapat gelar “Jâr Allâh”. Dari Mekah beliau pergi lagi ke Baghdad dan selanjutnya ke Khawarizm. Beberapa tahun setelah berada di negerinya ini, beliau wafat di Jurjaniyah pada malam ‘Arâfah tahun 538 H. Petualang Ibn Bathûtah mengaku melihat kuburannya. 
Al-Zamakhsyarî membujang seumur hidup. Sebagian besar waktunya diabadikan untuk ilmu dan menyebarluaskan paham yang dianutnya, seperti sering dilakukan kalangan ulama Mu’tazilah, oleh karena itu tidak mengherankan apabila para penulis biografinya mencatat kurang lebih 50 buah karya tulisannya yang mencakup berbagai bidang. Sebagian karya al-Zamakhsyari ada yang masih dalam bentuk manuskrip.

Karya-Karya al-Zamakhsyari
Dia telah menulis buku sebanyak lima puluh buah buku yang mengandung banyak aspek penelitian ilmiah, diantaranya ialah:
  1. Dalam bidang tafsir: al-Kasysāf ‘an Haqā´iq Gawāmidh al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fî al-Wujūh al-Ta´wīl.
  2. Dalam bidang hadis: al-Fā`iq fī Gharīb al-Hadīts.
  3. Dalam bidang fiqh: al-Rā`id fī al-Farā’idh.
  4. Dalam bidang ilmu bumi: al-Jihāl wa al-Amkinah.
  5. Dalam bidang ahlak: Mutasyābih Asmā` al-āt, al-Kālim an-âwig fî al-Mawâ`iz, al-Nasaih al-Kibâr al-Sighâr, Maqâmat fî al-Manâiz, Kitâb fî Manâqib al-Imâm Abî Hanîfah.
  6. Dalam bidang sastra: Dîwân ar-Rasâ`il, Dîwân al-Tamsîl, Tasliyat al-Darir.
  7. Dalam bidang nahwu: al-Namûjaz fî an-Nahwu, Syarh al-Kitâb Sibawaih, Syarh al-Mufassal fî al-Nahw.
  8. Dalam bidang bahasa: Asâs al-Balâghah, Jawâhir al-Lughah, al-Ajnâs, muqaddimah al-Adab fî al-Lughah.
Kitab tafsirnya, yang menjadi topik pembahasan disini, merupakan karya monumental beliau, dan terdiri dari empat volume. Karya ini ditulis ketika ia berumur enam puluh tahun, dalam bentuk tanya jawab yang singkat (fatqalah).


[1] Al-Dzahabī, Muhammad Husayn, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid I, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), cet. VII, hlm. 304, Fahd ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Sulaymān al-Rūmī, Buhûts fî Ushûl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, (Saudi Arabia: Maktabah al-Tawbah, 1419 H), cet. IV, hlm. 152 dan M. Amin Nurdin, “Al-Zamakhsyarī dan Sifat Alamiah Qur´ān yang Menakjubkan”, dalam buku Kusmana dan Syamsuri (ed.), Pengantar Kajian Al-Qur´ān: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), cet. I, hlm. 140,
[2] Al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd Adzīm, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm Al-Qur´ān, Jilid II, (Mesir: ‘Īsā al-Babî al-Halabī, t.t), hlm. 70.
[3] Naïf, Fauzan, “Al-Kasysyāf Karya al-Zamakhsyarī” dalam buku Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), cet. I, hlm. 44.
[4] Lihat, Ibid., hlm. 44-45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar