A. Historis-Biografis al-Zamakhsyarī
Al-Zamkhsyarī adalah orang Persia,
seorang teolog dan ahli filologis Sebagaimana tertulis dalam Tafsîr
al-kasysyaf, nama lengkap al-Zamakhsyarī adalah ‘Abd al-Qāsim Mahmūd ibn Muhammad
ibn ‘Umar al-Khāwarizmī al-Zamakhsyarī,
atau Mahmūd ibn ‘Umar ibn Muhammad Ibn ‘Umar.[1]
Tetapi ada juga yang menulis Muhammad Ibn ‘Umar Ibn Muhammad al-Khâwarizmî
al-Zamakhsyarī.[2]
Namun, dalam faktanya, beliau lebih dikenal dengan nama al-Zamakhzyarī, karena
dinisbatkan kepada kota kelahirannya. Gelarnya adalah “Jâr Allah” (tetangga
yang paling dekat dengan Allah) diperoleh karena berdiam beberapa lama di
Makkah. Beliau juga digelari dengan “Tāj
Islām” (mahkota Islam) dan merupakan kebanggaan bangsa Khāwarizm.
Ia dilahirkan di Zamakhsyar, sebuah
kota kecil di Khāwarizmī pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M,
dari sebuah keluarga miskin, tetapi alim dan taat beragama. Ayahnya bernama
‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Umar yang berkebangsaan Khawarizm (Turkistan), seorang
ayah yang sangat memperhatikan pendidikan dan masa depan anaknya. Dilihat dari masa tersebut, beliau lahir pada
masa pemerintahan Sultan Jalāl al-Dīn Abī al-Fath Mālik Syāh (1072-1092 M)
dengan wazirnya Nizhām al-Mulk, dimana Wazir ini terkenal sebagai orang yang
aktif dalam pengembangan dan kegiatan keilmuan. Dia mempunyai ‘kelompok
diskusi’ yang terkenal maju dan selalu penuh dihadiri para ilmuan dari berbagai
kalangan.[3]
Sejak usia menjelang remaja,
al-Zamakhsyarī sudah pergi merantau, meninggalkan desanya pergi menuntut ilmu
pengetahuan ke Bukhara, yang pada masa itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan
terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, beliau merasa terpanggil
untuk pulang sehubungan dengan dipenjarakannya ayah beliau oleh pihak penguasa
dan kemudian wafat. Al-Zamakhsyarī masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulama
terkemuka di Khawarizm, yakni Abū Mudhar al-Nahwī (w. 508 H). Berkat bimbingan
dan bantuan yang diberikan Abū Mudhar al-Nahwī, ia berhasil menjadi murid yang
terbaik dengan menguasai bahasa dan sastra Arab, filsafat dan ilmu kalam.[4]
Al-Zamakhsyarī adalah penafsir
hebat, memiliki tradisi kenabian, grammar, literatur dan linguistik yang
memadai. Dia juga merupakan salah satu pengikut fanatik sekte Mu’tazilah. Fakta
ini tidak bisa dipisahkan dari lingkungan hidupnya, khawarizim, dimana
mayoritas masyarakatnya berasal dari aliran Mu’tazilah. Al-Zamakhsyarī juga
dikenal sebagai orang yang berambisi memperoleh kedudukan di pemerintahan.
Setelah merasa tidak berhasil dan kecewa melihat orang-orang yang dari segi
ilmu dan ahlak lebih rendah darinya diberi jabatan-jabatan yang tinggi oleh
penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun telah dipromosikan
oleh guru yang sangat dihormatinya, yaitu Abû Mudhar. Keadaan itu memaksanya
untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta pujian dari
kalangan pejabat pemerintahan Abū al-Fath ibn al-Husayn al-Ardastanī serta pada
masa ‘Ubayd Nizhām al-Mulk. Di sana, ia
diangkat menjadi sekretaris (kâtib), tetapi karena tidak puas dengan
jabatan tersebut, ia pergi ke pusat pemerintahan Daulah Bani Saljuk, yakni kota
Isfahan.
Setidaknya ada dua kemungkinan
mengapa al-Zamakhsyarī selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di
pemerintahan. Pertama, selain ahli bahasa dan sastra Arab, tetapi beliau
juga seorang tokoh Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebarluaskan
pahamnya dan ini membawa dampak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang
tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. Kedua, mungkin juga karena kurang
didukung kondisi jasmaninya. Al-Zamakhsyarī memiliki cacat fisik, yaitu
kehilangan satu kakinya. Akan tetapi,
setelah terserang sakit yang parah pada tahun 512 H, angan-angannya untuk
mendapatkan jabatan di pemerintahan pun segera sirna. Al-Zamakhsyarī lalu
melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di sini ia mengikuti pengajian hadis Abū
al-Khattīb al-Batr Abī Sā’idah al-Syafanī, Abū Manshūr al-Hārisī dan mengikuti
pengajian fikih oleh ahli fikih Hanafi, al-Dāmaghānī al-Syarīf ibn al-Syajarī.
Setelah banyak menimba pengetahuan,
beliau bertekad membersihkan dosa-dosanya yang lalu dan menjauhi penguasa,
menuju penyerahan diri kepada Allâh SWT. dengan melawat ke Mekah selama dua
tahun. Di kota suci ini ia suntuk mempelajari kitab Sibawaih, pakar gramatika
Arab yang terkenal (w. 518 H). Ia juga menyempatkan diri mengunjungi banyak
negeri di jazirah Arab. Kerinduannya kepada kampung halaman membawanya pulang
kembali. Setelah al-Zamakhsyarî menyadari usianya yang semakin lanjut, timbul
lagi kegairahannya untuk pulang ke Mekah. Beliau tiba kembali di Mekah untuk
kedua kalinya pada tahun 526 H dan menetap selama tiga tahun, yaitu tahun
526-529 H atau 1132-1135 M, bertetangga dengan baitullah sehingga mendapat
gelar “Jâr Allâh”. Dari Mekah beliau pergi lagi ke Baghdad dan selanjutnya ke
Khawarizm. Beberapa tahun setelah berada di negerinya ini, beliau wafat di
Jurjaniyah pada malam ‘Arâfah tahun 538 H. Petualang Ibn Bathûtah mengaku
melihat kuburannya.
Al-Zamakhsyarî membujang seumur
hidup. Sebagian besar waktunya diabadikan untuk ilmu dan menyebarluaskan paham
yang dianutnya, seperti sering dilakukan kalangan ulama Mu’tazilah, oleh karena
itu tidak mengherankan apabila para penulis biografinya mencatat kurang lebih
50 buah karya tulisannya yang mencakup berbagai bidang. Sebagian karya
al-Zamakhsyari ada yang masih dalam bentuk manuskrip.
Karya-Karya
al-Zamakhsyari
Dia telah menulis buku sebanyak lima
puluh buah buku yang mengandung banyak aspek penelitian ilmiah, diantaranya
ialah:
- Dalam bidang tafsir: al-Kasysāf ‘an Haqā´iq Gawāmidh al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fî al-Wujūh al-Ta´wīl.
- Dalam bidang hadis: al-Fā`iq fī Gharīb al-Hadīts.
- Dalam bidang fiqh: al-Rā`id fī al-Farā’idh.
- Dalam bidang ilmu bumi: al-Jihāl wa al-Amkinah.
- Dalam bidang ahlak: Mutasyābih Asmā` al-āt, al-Kālim an-âwig fî al-Mawâ`iz, al-Nasaih al-Kibâr al-Sighâr, Maqâmat fî al-Manâiz, Kitâb fî Manâqib al-Imâm Abî Hanîfah.
- Dalam bidang sastra: Dîwân ar-Rasâ`il, Dîwân al-Tamsîl, Tasliyat al-Darir.
- Dalam bidang nahwu: al-Namûjaz fî an-Nahwu, Syarh al-Kitâb Sibawaih, Syarh al-Mufassal fî al-Nahw.
- Dalam bidang bahasa: Asâs al-Balâghah, Jawâhir al-Lughah, al-Ajnâs, muqaddimah al-Adab fî al-Lughah.
Kitab tafsirnya, yang menjadi topik
pembahasan disini, merupakan karya monumental beliau, dan terdiri dari empat
volume. Karya ini ditulis ketika ia berumur enam puluh tahun, dalam bentuk tanya
jawab yang singkat (fatqalah).
[1] Al-Dzahabī,
Muhammad Husayn, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid I, (Mesir: Maktabah
Wahbah, 2000), cet. VII, hlm. 304, Fahd ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Sulaymān
al-Rūmī, Buhûts fî Ushûl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, (Saudi Arabia:
Maktabah al-Tawbah, 1419 H), cet. IV, hlm. 152 dan M. Amin Nurdin,
“Al-Zamakhsyarī dan Sifat Alamiah Qur´ān yang Menakjubkan”, dalam buku Kusmana
dan Syamsuri (ed.), Pengantar Kajian Al-Qur´ān: Tema Pokok, Sejarah dan
Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), cet. I, hlm. 140,
[2]
Al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd Adzīm, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm Al-Qur´ān, Jilid II,
(Mesir: ‘Īsā al-Babî al-Halabī, t.t), hlm. 70.
[3] Naïf,
Fauzan, “Al-Kasysyāf Karya al-Zamakhsyarī” dalam buku Muhammad Yusuf dkk, Studi
Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), cet.
I, hlm. 44.
[4] Lihat, Ibid.,
hlm. 44-45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar