Sakralisasi
al-Qur′ān
Ortodoksi
Islam harus berterimakasih kepada Gutenberg dan teknologi mesin cetak. Mesin
cetaklah yang secara ampuh menstandarkan al-Qur′ān. Sejak 1924, al-Qur’an
perlahan-lahan menjadi kitab suci yang utuh yang diam-diam dipercayai kaum
Muslim sebagai “kitab suci yang diturunkan dari langit secara verbatim.” Namun,
mesin cetak, tentu saja, bukan satu-satunya faktor yang membuat al-Qur′ān menjadi
kitab suci yang begitu sakral. Proses sakralisasi telah berlangsung lama, sama
tuanya dengan upaya kodifikasi dan standarisasi al-Qur′ān itu sendiri. Berikut
ini, saya akan mendiskusikan beberapa faktor penyebab sakralitas al-Qur′ān.
1.
Kodifikasi, Standarisasi, Unifikasi Wahyu pada mulanya bersifat oral.
Perintah
untuk menuliskan wahyu bukanlah tujuan utama, tapi merupakan pilihan
belakangan, dimaksudkan untuk pengabadian dan penyebarluasan.[1] Tidak ada perintah dalam al-Qur′ān
untuk menuliskan wahyu-wahyu yang diterima. Kata “k-t-b” (akar kata “kitab”)
dalam al-Qur’an tidak hanya berarti menulis, tapi juga berarti penciptaan[2] dan
pewajiban.[3]
Namun demikian, al-Qur′ān juga beberapa kali menyebut konsep “kitab” sebagai
“kitab suci”[4]
Gagasan pembukuan al-Qur′ān menjadi “kitab suci yang utuh” tampaknya
terinspirasi dari keberadaan kitab-kitab sebelumnya dan dari al-Qur′ān sendiri
yang dinyatakan secara implisit.
Dalam
surah al-Baqarah, 174, misalnya, al-Qur’an mengutuk “orangorang yang
menyembunyikan bagian dari al-kitab yang diturunkan Allah.” Dalam berbagai
ayat, kata “al-kitab” kerap disandingkan dengan “al-hikmah,” di mana “al-kitab”
merujuk kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi dan “al-hikmah” merujuk
kepada ilmu pengetahuan manusia.[5] Yang paling penting adalah
ayat dalam surah al-Baqarah, 177, di mana Allah menyebut “al-kitab” dalam satu
paket keimanan kepada Allah, hari akhirat, malaikat, dan para nabi. Ayat ini
kemudian menjadi sendi-sendi “rukun iman,” di mana salah satu pilarnya adalah
percaya kepada “al-kitab.” Konsekwensi dari ayat-ayat semacam itu sangat jelas,
yakni jika agamaagama sebelumnya, khususnya Yahudi dan Kristen, memiliki “al-kitab,”
maka agama yang dibawa Nabi Muhammad pun sudah semestinya memiliki “alkitab.”
Inilah yang mendorong para sahabat Nabi sejakawal untuk membukukan
fragmen-fragmen wahyu yang mereka catat. Namun, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, proses pembukuan wahyu berjalan rumit.
Mushaf
pada masa Nabi belum sepenuhnya menjadi “kitab suci” dalam pengertiannya yang
datang kemudian. Bukan hanya wahyu pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang
ditulis, tapi karena Nabi masih hidup, sehingga tidak mungkin agaknya jika
“kitab suci” yang masih tercecer dan dalam bentuknya yang sederhana, akan
mengalahkan otoritas Nabi yang bisa dirujuk setiap saat. Pengumpulan
fragmen-fragmen wahyu menjadi satu mushaf merupakan langkah pertama sakralisasi
al-Qur′ān. Penting untuk dicatat di sini bahwa pada masa awal-awal Islam,
istilah “al-Qur′ān” sendiri masih merupakan sesuatu yang asing. Sebelum menjadi
“al-Qur′ān,” kumpulan fragmen wahyu itu disebut “al-Mushaf.” Evolusi nama dari
“al-Mushaf” menjadi “al-Qur′ān” sendiri merupakan bagian dari proses
sakralisasi yang panjang itu.
Para
sahabat Nabi berlomba-lomba merekam wahyu dan jika perlu membukukannya dalam
sebuah mushaf. Percobaan yang dilakukan Abu Bakar dan kemudian Umar, merupakan
usaha awal untuk menjadikan al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang utuh dan
satu. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Utsman yang tampaknya menuai sukses.
Usaha berikutannya adalah standarisasi dan unifikasi seluruh versi bacaan yang
beredar. Seperti sudah disinggung di atas, meskipun Utsman berhasil melakukan
kodifikasi fragmen-fragmen wahyu menjadi satu dan memerintahkan membakar
seluruh mushaf yang ada ketika itu, upaya kodifikasi tidak bisa menertibkan mushaf-mushaf “maya”
yang ada di kepala para sahabat dan tabi’in (pengikut sahabat). Alih-alih
persoalan baru muncul, karena versi mushaf hafalan kerap kali berbenturan
dengan versi resmi yang dibakukan Utsman. Puncak dari upaya standarisasi
al-Qur’an, sebetulnya baru benar-benar mengalami puncaknya pada abad ke-4, ketika
Ibn Mujahid melakukan penyeragaman bacaan, seperti sudah dijelaskan di atas.
2.
Mu’jizat Peran
Mu’jizat
sangat penting untuk mendukung karisma dan daya tarik suatu klaim otoritas
ilahi. Para nabi selalu memiliki mu’jizat
untuk mendukung klaim kenabiannya. Al-Qur’an juga diklaim memiliki “mu’jizat”
untuk mendukung klaim keilahiannya. Para
sarjana al-Qur’an sejak lama berbicara tentang i’jaz (mukjizat) al-Qur’an.
Kendati mereka berbeda pendapat tentang sisi kemukjizatan al-Qur’an, mereka
sepakat bahwa al-Qur’an mengandung mukjizat.
Dalam al-Itqan,
Jalal al-Din al-Suyuthi menyebutkan beberapa aspek kemukijazatan al-Qur’an, di
antaranya metodenya (uslub), keindahannya (balaghah), dan kabar gaib yang
disampaikannya (mughayyibat).[6] 31 Berbeda dengan mukjizat-mukjizat para
nabi sebelum Muhammad, kemukjizatan alQur’an tak bisa dirasakan langsung secara
fisik, tapi harus dipahami berdasarkan akal-budi (bashirah).[7] 32 Klaim kemukjizatan
al-Qur’an adalah untuk membuktikan bahwa kitab suci ini benar-benar datang dari
Allah. Kata-kata yang terkandungnya merupakan kata-kata yang langsung datang
dari Allah secara verbatim. Bukti bahwa kata-kata al-Qur’an datang langsung
dari Allah, dan bukan ciptaan Muhammad, adalah bahwa tak seorangpun mampu
membuat ayat yang mirip dengannya atau menandingininya.[8] 33 Tentang hal ini,
al-Qur’an sendiri memberikan semacam tantangan kepada siapa saja yang mampu
membuat alQur’an tandingan,[9] 34 dan jika tidak mampu,
al-Qur’an menurunkan tantangannya menjadi 10 surah,[10] 35 dan jika tak mampu
juga al-Qur’an menawarkan satu surah saja.[11] 36 Akhirnya, al-Qur’an
sendiri memberikan ultimatum bahwa manusia tak akan ada yang mampu membuat satu
surah pun untuk menyaingi al-Qur’an. Bahkan jika manusia dan jin bekerjasama
untuk membuat satu al-Qur’an yang
lain, mereka pasti tak akan mampu membuatnya.[12] 37 Kendati ada
upaya-upaya membuat surah atau ayat yang mirip alQur’an,[13] 38 kaum Muslim tetap
meyakini bahwa surah-surah atay ayat-ayat tandingan itu tak bisa menyamai
--apalagi mengalahkan-- al-Qur’an. Anggapan bahwa tak ada yang mampu menandingi
al-Qur’an ini kemudian memunculkan teori-teori seputar i’jaz, apakah
ketidakmampuan itu karena memang terlalu tingginya kualitas al-Qur’an atau ada
campur tangan Tuhan dalam “melemahkan” manusia agar mereka tak bisa melakukannya.
Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah mengembangkan konsep
“sharfah” (pengalihan), yakni bahwa Allah mengalihkan kemampuan bangsa Arab
untuk menciptakan al-Qur’an sehingga mereka tak mampu atau tak berselera
menciptakan semacam itu. Pandangan
ini ditolak oleh sebagian besar ulama karena gagasan itu mengandaikan
campur-tangan Tuhan, dan bukan semata-mata keunggulan alQur’an. Selain dimensi
kesusastraan (balaghah), sebagian kaum Muslim juga meyakini dimensi lain dari
kemukjizatan al-Qur’an, yakni bahwa kitab suci ini dapat “menyembuhkan”
berbagai penyakit, baik penyakit psikologis maupun fisik. Sebagain kaum Muslim
meyakini bahwa surah-surah tertentu dari alQur’an memiliki khasiat khusus bagi
pembaca atau pendengarnya.[14] 39 Di Indonesia,
surah-surah seperti “Ya Sin” dan “al-Kahfi” dibaca secara rutin, khususnya pada
setiap malam Jum’at. Beberapa surah seperti surah “Yusuf” dan “Maryam” dianggap
berkhasiat bagi ibu-ibu hamil untuk menambah kecantikan atau kerupawanan anak
yang akan dilahirkannya. Para dukun dan tabib
biasanya memiliki ayat-ayat favorit yang mereka yakini dapat membantu
menyembuhkan pasien-pasien mereka.
3.
Tafsir-Tafsir
Penulisan
tafsir juga memberikan peran yang sangat besar dalam menjadikan al-Qur’an kitab
suci yang sempurna. Sejarah penafsiran al-Qur’an sendiri telah ada sejak zaman
Nabi. Tentu saja, pada masa ini, upaya penafsiran dilakukan secara verbal dan
disampaikan dalam halaqah-halaqah para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi
seperti Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas dikenal sangat piawai dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Sejarah penulisan tafsir al-Qur’an baru mulai
semarak pada abad ke-3 H/10 M, dimulai oleh Ibn jarir al-Tabari (w. 923 M).
Pada mulanya, tafsir adalah upaya untuk memberikan penjelasan kepada ayat-ayat
al-Qur’an, tapi dengan semakin berkembangnya tradisi ini, tafsir menjadi sebuah
ilmu apologia untuk membentengi al-Qur’an dari kritik dan kecaman. Selama
rentang abad ke-10 hingga abad ke-20 M, tafsir berperan seperti Teologi (ilmu
kalam) dalam membentengi keilahian al-Qur’an. Peran tafsir sangat besar
terutama dalam menjelaskan berbagai kontroversi dan kontradiksi antara
ayat-ayat al-Qur’an.[15] 40 Tafsir juga sangat
berperan dalam memberikan pembenaran terhadap ayat-ayat yang terlalu irasional
atau bertentangan dengan fakta historis.[16] 41 Inti dari semua ini
adalah untuk menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang sepenuhnya
datang dari Allah dan sesuatu yang datang dari Allah tak mungkin cacat. 4.
Larangan Terjemahan Berbeda dengan Injil yang sejak awal telah mengalami
penerjemahan ke dalam bahasa asing,[17] 42 al-Qur’an tak pernah
diterjemahkan hingga orang-orang Eropa melakukannya pada pertengahan abad
ke-12.[18] 43 Kitab-kitab klasik
‘ulum alQur’an tak pernah membahas tentang terjemahan.
Kitab al-Itqan yang dianggap karya pamuncak genre studi
al-Qur’an hanya memasukkan bab “tafsir dan ta’wil,” dan mengabaikan sama sekali
pembahasan tentangterjemahan. Kendati
kaum Muslim Arab telah berinteraksi dengan orang-orang non-Arab sejak masa awal
Islam, mereka tak pernah memikirkan bahwa al-Qur’an bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa non-Arab. Para ulama Islam tidak
pernah menganjurkan upaya penerjemahan al-Qur’an. Bahkan sebagian mereka
melarang dan mengharamkannya. Inilah yang menjelaskan mengapa terjemahan
al-Qur’an dilakukan pertama kali oleh orangorang non-Muslim, khususnya di
Eropa, dan bukan oleh orang-orang Islam. Namun, memasuki zaman modern, upaya
penerjemahan al-Qur’an tidak bisa lagi dibendung. Seperti dijelaskan dengan
sangat bagus oleh M. Ayoub, upaya penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa
non-Arab, pada mulanya adalah sebuah kebutuhan untuk membendung misionaris
Kristen.[19]
negara-negara non-Arab merasa kesulitan berinteraksi langsung dengan kitab suci
mereka, sementara para misionaris secara gencar menyebarluaskan kitab suci
dengan bahasa lokal di mana kaum Muslim tinggal.
Untuk
menandingi misionaris ini, para ulama akhirnya membolehkan penerjemahan
al-Qur’an. Kendati demikian, upaya penerjemahan al-Qur’an selalu dikontrol
secara ketat. Negara selalu mengambil peran dalam melakukan “penerjemahan
resmi,” sementara upaya-upaya penerjemahan individual tidak pernah digalakkan,
dan kalau perlu dilarang. Kasus terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris
oleh Rashad Khalifa (The Qur'an: The Final Scripture) dan ke dalam bahasa
Indonesia oleh H.B. Jassin (al-Qur’an Berwajah Puisi) adalah contoh betapa
penerjemahan al-Qur’an secara individual bisa membahayakan pelakunya. Di atas
ini semua, perlu digarisbawahi bahwa para ulama Islam hampir sepakat bahwa
terjemahan al-Qur’ansesungguhnya bukanlah al-Qur’an. Al-Qur’an itu, menurut
mereka, untranslatable, tidak bisa diterjemahkan. Pesannya jelas bahwa al-Qur’an
dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang agung, yang suci, yang tak terwakili oleh
bahasa non-Arab.
5. Penciptaan Tabu-Tabu Penciptaan berbagai
tabu atau larangan menyangkut kitab suci memainkan peran sangat penting dalam
proses sakralisasi al-Qur’an. Tabu atau larangan menyangkut al-Qur’an sudah
terjadi sejak awal sejarah Islam, namun pada masa itu belum banyak, khususnya
karena al-Qur’an sebagai kitab suci belum sempurna. Namun, seiring dengan
perkembangan teknologi penulisan dan penjilidan, al-Qur’an sebagai kitab suci
semakin memiliki sakralitas yang dipenuhi berbagai tabu berkaitan dengan cara
bagaimana manusia membaca, menyentuh, membawa, dan memperlakukannya. Jalal
al-Din al-Suyuthi mendaftar tak kurang dari sepuluh tabu menyangkut al-Qur’an.[20] 45 Sebagian dari tabu ini
merupakan rekayasa belakangan dari para ulama, dan sebagian lainnya memang
merupakan tabu yang diciptakan atau diinspirasikan oleh al-Qur’an sendiri.
Hadis-hadis Nabi juga memiliki peran penting dalam memperkuat tabu-tabu
menyangkut al-Qur’an. Di antara tabu yang sangat populer menyangkut al-Qur’an
adalah bahwa “seseorang tidak boleh menyentuh al-Qur’an jika ia tidak memiliki
wudhu.” Tabu ini datang dari al-Qur’an sendiri yang ditafsirkan secara
tendensius oleh sebagian ulama. Dalam surah al-Waqi’ah (56) ayat 79, Allah
berfirman: la yamussuhu illa al-mutahharun (tidak ada yang menyentuhnya kecuali
orangorang yang suci). Sebagian besar ulama konservatif mengartikan
“orang-orang yang suci” adalah orang-orang yang mempunyai wudhu. Tapi para mufasir
besar seperti al-Razi dan al-Zamakhsyari mengartikan “orang-orang yang suci”
adalah para malaikat, karena konteks ayat itu berbicara tentang kitab suci yang
terjaga di surga (lawh al-mahfudh). Larangan menyentuh al-Qur’an merupakan hal
penting berkaitan dengan penciptaantabu seputar al-Qur’an di tengah kaum
Muslim. Pengertian “orangorang yang suci” kemudian meluas, bukan hanya orang
yang tidak berwudhu, tapi juga orang-orang yang dalam katagori fikih disebut
“tidak suci,” seperti perempuan yang sedang menstruasi, lelaki yang sedang
janabah (junub), dan orang-orang kafir di luar Islam. Tabu ini juga kemudian
diperluas, bukan hanya berkaitan dengan “sentuhan” tapi juga “bacaan.”
Orang-orang yang tak suci itu bukan hanya tak
boleh menyentuh al-Qur’an, tapi juga tak boleh membacanya. Kesucian menjadi
syarat utama dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Argumen ini kemudian
diperluas lagi, bukan hanya menyangkut orang yang menyentuh atau membacanya,
tapi juga pada tempat di mana kitab suci itu diletakkan atau dibawa. Para ulama melarang keras membawa atau membaca al-Qur’an
di dalam toilet atau kamar mandi. Pengaitan al-Qur’an dengan toilet kerap
dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap kitab suci ini. Pengagungan kepada
al-Qur’an juga dilakukan dengan menciptakan tabu-tabu yang dilandasi pandangan
dunia Islam secara umum. Misalnya, larangan memegang al-Qur’an dengan tangan
kiri, karena tangan kiri dianggap jelek. Dalam bentuk lain, tabu-tabu itu
dilakukan dengan memberikan anjuran baik, seperti keharusan menyikat gigi
(bersiwak) sebelum membaca al-Qur’an. Argumennya mudah ditebak, karena
al-Qur’an adalah kata-kata Allah yang suci, maka untuk mengucapkannya, mulut
manusia pun harus dalam keadaan suci dan bersih.[21] Kesimpulan Sebagaimana
kitab suci lainnya, Al-Qur’an adalah produk sejarah manusia. Sebagai sebuah
buku, al-Qur’an merupakan hasil dari proses panjang pengumpulan, penyeleksian,
pengeditan, dan pencetakan, hingga akhirnya menjadi sebuah buku suci.
Sumber
utama penulisan al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad.
Pada mulanya, wahyu bersifat oral dan tidak pernah diniatkan secara sengaja
sebagai sebuah kitab suci. Peng-kitab-an adalah upaya belakangan yang dilakukan
oleh sahabat Nabi dan para generasi kaum Muslimselanjutnya. Sebagai sebuah
proses manusiawi, peng-kitab-an tak lepas dari kekeliruan dan kesalahan. Klaim
keterjagaan al-Qur’an,[22] dengan demikian, harus
dipahami bukan dalam konteks manusiawi, tapi dalam konteks ilahi.[23] Kita agaknya harus
membedakan antara “wahyu” dan “proses penulisan.” Wahyu adalah sesuatu yang tak
bisa diperdebatkan. Klaim penerimaan wahyu adalah klaim subjektif yang berada
di luar nalar ilmiah. Persoalan wahyu sepenuhnya adalah persoalan keimanan, dan
bukan persoalan ilmu pengetahuan. Sementara itu, penulisan adalah proses
manusiawi yang bisa diuji dan diterokai secara obyektif. Proses penulisan kitab
suci, lebih dari sekadar proses penulisan buku, melibatkan berbagai unsur:
budaya, bahasa, politik, dan kekuasaan.
Bentuk
final dari kitab suci adalah perjalanan panjang dalam mengakomodasi seluruh
unsur ini. Perdebatan seputar sejarah kitab suci sebaiknya hanya dibatasi pada
persoalan proses pembukuan saja dan tidak mempertanyakan soal “validitas
wahyu.” Validitas wahyu adalah persoalan lain yang berada di luar konteks
penulisan sejarah. Sakralisasi al-Qur’an berkaitan erat dengan proses
pembentukan dan perjalanan wahyu sebagai kitab suci. Sebagaimana proses
pembukuan itu sendiri, proses sakralisasi berkembang mengikuti perkembangan
sejarah penulisan al-Qur’an. Pencusian (anggapan suci), pada akhirnya, adalah
konstruksi sebuah masyarakat. Dia tidak datang begitu saja dari benda-benda
yang disucikan. Al-Qur’an dianggap suci karena ada sekelompok masyarakat yang
menganggapnya demikian.
[1] Ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah, gagasan penulisan
wahyu tampaknya merupakan inisiatif para sahabat perorangan. Nabi tidak
melarang inisiatif itu. Bahkan, kemudian dia melarang menuliskan kata-katanya
pribadi (yang kemudian dikenal dengan “hadis”), agar tidak tercampur dengan
wahyu.
[2] Q.S. 3:53; 5:83.
[3] Q.S. 2:183; 2:216; 4:77.
[4] Q.S. 2:44, 87, 89, 113, 129, 174, 176, 177.
[5] Misalnya, Q.S. 2:151, 231; 3:48, 81.
[6] Al-Suyuthi. al-Itqan, vol 2, hal. 149.
[7] Ibid.
[8] Sebagian musuh-musuh Nabi di Mekah mengatakan bahwa ayat-ayat
al-Qur’an adalah ciptaan Muhammad semata, dan bukan wahyu yang datang dari
Allah. Menurut mereka, siapapun bisa membuat ayat-ayat semacam itu. Untuk
merespon pandangan ini, al-Qur’an kemudian meresponnya dengan memberikan
tantangan membuat surah seperti al-Qur’an.
[9] Q.S. 52:34.
[10] Q.S. 11:13.
[11] Q.S. 2:23, 10:38.
[12] Q.S. 17:88.
[13] 38 Khususnya pada masa-masa awal Islam, seperti yang dilakukan oleh
al-Musaylamah, seorang yang dipercaya mengarang banyak sekali ayat mirip
al-Qur’an, namun sayangnya tak banyak yang sampai ke kita.
[14] 39 Al-Suyuthi mengarang sebuah kitab berjudul Hamail al-Zahr fi
Fadhail al-Suwar (para pembawa bunga tentang kehebatan surat-surat), di mana ia
menjelaskan khasiat setiap surah dalam al-Qur’an.
[15] 40 Misalnya antara ayat yang menganjurkan untuk membunuh kaum kafir
di mana saja kaum Muslim menjumpai mereka (Q.S. 2:191), dengan ayat yang
melarang pembunuhan manusia (Q.S. 17:33).
[16] 41 Misalnya ayat tentang kisah “Ashabul Kahfi,” tentang “Alexander
the Great,” dan ayat tentang “Penghancuran Ka’bah oleh Abrahah.”
[17] 42 Bahkan pengumpulan pertamakali kitab suci dilakukan dalam bahasa
Yunani. Adapun manuskrip bahasa aselinya, yakni Syriac, sampai hari ini tak
pernah dijumpai.
[18] 43 Terjemahan al-Qur’an pertama dilakukan oleh Robert of Ketton,
seorang pendeta Inggris, ke dalam bahasa Latin pada tahun 1143. Terjemahan ini
dinilai sangat buruk karena Ketton tidak menguasai bahasa Arab dengan baik.
Terjemahan itu dibantu oleh seorang Muslim asal Cordova, Spanyol. Lebih jauh
tentang ini, lihat Harry Clark. “The Publication of the Koran in Latin: A
Reformation Dilemma.” Sixtenth Century Journal, vol. 15, no. 1, Spring 1984.
[19] 44 Kaum Muslim di 44 M.
Ayoub, “Translating the Meaning of the Quran: Traditional Opinions and Modern
Debates,” Afkar Inquiry, Vol. 3, No. 5 (Ramadan 1406/May 1986).
[20] 45 Al-Suyuthi. al-Itqan, vol 1, hal. 130.
[21] Sebenarnya ada sebuah hadis Nabi yang mendukung argumen ini, yakni:
inna afwahakum turuqun li a-lqur’an, fatayyibuha bi al-siwak (mulut-mulut
kalian adalah tempat lewatnya alQur’an, maka bersihkanlah dengan siwak).
[22] Seperti dinyatakan dalam surah 15: 9, Inna nahnu nazzalna al-dhikra
wa inna lahu lahafidzun (kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan kami pula yang
menjaganya).
[23] Di sinilah konsep “kitab induk” (umm al-kitab) memainkan perannya.
Dalam Q.S. 85:22, “kitab induk” merujuk kepada “al-Qur’an ideal” yang selalu
terjaga di alam arwah: bal huwa qur’anun majid, fi lawhin mahfudz (dialah
al-qur’an yang mulia, yang ada dalam tablet terjaga).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar