Senin, 25 November 2013

Sakralisasi al-Qur′ān


Sakralisasi al-Qur′ān
Ortodoksi Islam harus berterimakasih kepada Gutenberg dan teknologi mesin cetak. Mesin cetaklah yang secara ampuh menstandarkan al-Qur′ān. Sejak 1924, al-Qur’an perlahan-lahan menjadi kitab suci yang utuh yang diam-diam dipercayai kaum Muslim sebagai “kitab suci yang diturunkan dari langit secara verbatim.” Namun, mesin cetak, tentu saja, bukan satu-satunya faktor yang membuat al-Qur′ān menjadi kitab suci yang begitu sakral. Proses sakralisasi telah berlangsung lama, sama tuanya dengan upaya kodifikasi dan standarisasi al-Qur′ān itu sendiri. Berikut ini, saya akan mendiskusikan beberapa faktor penyebab sakralitas al-Qur′ān.
1. Kodifikasi, Standarisasi, Unifikasi Wahyu pada mulanya bersifat oral.
Perintah untuk menuliskan wahyu bukanlah tujuan utama, tapi merupakan pilihan belakangan, dimaksudkan untuk pengabadian dan penyebarluasan.[1] Tidak ada perintah dalam al-Qur′ān untuk menuliskan wahyu-wahyu yang diterima. Kata “k-t-b” (akar kata “kitab”) dalam al-Qur’an tidak hanya berarti menulis, tapi juga berarti penciptaan[2]  dan    pewajiban.[3] Namun demikian, al-Qur′ān juga beberapa kali menyebut konsep “kitab” sebagai “kitab suci”[4] Gagasan pembukuan al-Qur′ān menjadi “kitab suci yang utuh” tampaknya terinspirasi dari keberadaan kitab-kitab sebelumnya dan dari al-Qur′ān sendiri yang dinyatakan secara implisit.
Dalam surah al-Baqarah, 174, misalnya, al-Qur’an mengutuk “orangorang yang menyembunyikan bagian dari al-kitab yang diturunkan Allah.” Dalam berbagai ayat, kata “al-kitab” kerap disandingkan dengan “al-hikmah,” di mana “al-kitab” merujuk kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi dan “al-hikmah” merujuk kepada ilmu pengetahuan manusia.[5] Yang paling penting adalah ayat dalam surah al-Baqarah, 177, di mana Allah menyebut “al-kitab” dalam satu paket keimanan kepada Allah, hari akhirat, malaikat, dan para nabi. Ayat ini kemudian menjadi sendi-sendi “rukun iman,” di mana salah satu pilarnya adalah percaya kepada “al-kitab.” Konsekwensi dari ayat-ayat semacam itu sangat jelas, yakni jika agamaagama sebelumnya, khususnya Yahudi dan Kristen, memiliki “al-kitab,” maka agama yang dibawa Nabi Muhammad pun sudah semestinya memiliki “alkitab.” Inilah yang mendorong para sahabat Nabi sejakawal untuk membukukan fragmen-fragmen wahyu yang mereka catat. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, proses pembukuan wahyu berjalan rumit.
Mushaf pada masa Nabi belum sepenuhnya menjadi “kitab suci” dalam pengertiannya yang datang kemudian. Bukan hanya wahyu pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang ditulis, tapi karena Nabi masih hidup, sehingga tidak mungkin agaknya jika “kitab suci” yang masih tercecer dan dalam bentuknya yang sederhana, akan mengalahkan otoritas Nabi yang bisa dirujuk setiap saat. Pengumpulan fragmen-fragmen wahyu menjadi satu mushaf merupakan langkah pertama sakralisasi al-Qur′ān. Penting untuk dicatat di sini bahwa pada masa awal-awal Islam, istilah “al-Qur′ān” sendiri masih merupakan sesuatu yang asing. Sebelum menjadi “al-Qur′ān,” kumpulan fragmen wahyu itu disebut “al-Mushaf.” Evolusi nama dari “al-Mushaf” menjadi “al-Qur′ān” sendiri merupakan bagian dari proses sakralisasi yang panjang itu.
Para sahabat Nabi berlomba-lomba merekam wahyu dan jika perlu membukukannya dalam sebuah mushaf. Percobaan yang dilakukan Abu Bakar dan kemudian Umar, merupakan usaha awal untuk menjadikan al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang utuh dan satu. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Utsman yang tampaknya menuai sukses. Usaha berikutannya adalah standarisasi dan unifikasi seluruh versi bacaan yang beredar. Seperti sudah disinggung di atas, meskipun Utsman berhasil melakukan kodifikasi fragmen-fragmen wahyu menjadi satu dan memerintahkan membakar seluruh mushaf yang ada ketika itu, upaya kodifikasi  tidak bisa menertibkan mushaf-mushaf “maya” yang ada di kepala para sahabat dan tabi’in (pengikut sahabat). Alih-alih persoalan baru muncul, karena versi mushaf hafalan kerap kali berbenturan dengan versi resmi yang dibakukan Utsman. Puncak dari upaya standarisasi al-Qur’an, sebetulnya baru benar-benar mengalami puncaknya pada abad ke-4, ketika Ibn Mujahid melakukan penyeragaman bacaan, seperti sudah dijelaskan di atas.
2. Mu’jizat Peran
Mu’jizat sangat penting untuk mendukung karisma dan daya tarik suatu klaim otoritas ilahi. Para nabi selalu memiliki mu’jizat untuk mendukung klaim kenabiannya. Al-Qur’an juga diklaim memiliki “mu’jizat” untuk mendukung klaim keilahiannya. Para sarjana al-Qur’an sejak lama berbicara tentang i’jaz (mukjizat) al-Qur’an. Kendati mereka berbeda pendapat tentang sisi kemukjizatan al-Qur’an, mereka sepakat bahwa al-Qur’an mengandung mukjizat.
 Dalam al-Itqan, Jalal al-Din al-Suyuthi menyebutkan beberapa aspek kemukijazatan al-Qur’an, di antaranya metodenya (uslub), keindahannya (balaghah), dan kabar gaib yang disampaikannya (mughayyibat).[6] 31 Berbeda dengan mukjizat-mukjizat para nabi sebelum Muhammad, kemukjizatan alQur’an tak bisa dirasakan langsung secara fisik, tapi harus dipahami berdasarkan akal-budi (bashirah).[7] 32 Klaim kemukjizatan al-Qur’an adalah untuk membuktikan bahwa kitab suci ini benar-benar datang dari Allah. Kata-kata yang terkandungnya merupakan kata-kata yang langsung datang dari Allah secara verbatim. Bukti bahwa kata-kata al-Qur’an datang langsung dari Allah, dan bukan ciptaan Muhammad, adalah bahwa tak seorangpun mampu membuat ayat yang mirip dengannya atau menandingininya.[8] 33 Tentang hal ini, al-Qur’an sendiri memberikan semacam tantangan kepada siapa saja yang mampu membuat alQur’an tandingan,[9] 34 dan jika tidak mampu, al-Qur’an menurunkan tantangannya menjadi 10 surah,[10] 35 dan jika tak mampu juga al-Qur’an menawarkan satu surah saja.[11] 36 Akhirnya, al-Qur’an sendiri memberikan ultimatum bahwa manusia tak akan ada yang mampu membuat satu surah pun untuk menyaingi al-Qur’an. Bahkan jika manusia dan jin bekerjasama untuk    membuat satu al-Qur’an yang lain, mereka pasti tak akan mampu membuatnya.[12] 37 Kendati ada upaya-upaya membuat surah atau ayat yang mirip alQur’an,[13] 38 kaum Muslim tetap meyakini bahwa surah-surah atay ayat-ayat tandingan itu tak bisa menyamai --apalagi mengalahkan-- al-Qur’an. Anggapan bahwa tak ada yang mampu menandingi al-Qur’an ini kemudian memunculkan teori-teori seputar i’jaz, apakah ketidakmampuan itu karena memang terlalu tingginya kualitas al-Qur’an atau ada campur tangan Tuhan dalam “melemahkan” manusia agar mereka tak bisa melakukannya.
Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah mengembangkan konsep “sharfah” (pengalihan), yakni bahwa Allah mengalihkan kemampuan bangsa Arab untuk menciptakan al-Qur’an sehingga mereka tak mampu atau tak berselera menciptakan semacam itu. Pandangan ini ditolak oleh sebagian besar ulama karena gagasan itu mengandaikan campur-tangan Tuhan, dan bukan semata-mata keunggulan alQur’an. Selain dimensi kesusastraan (balaghah), sebagian kaum Muslim juga meyakini dimensi lain dari kemukjizatan al-Qur’an, yakni bahwa kitab suci ini dapat “menyembuhkan” berbagai penyakit, baik penyakit psikologis maupun fisik. Sebagain kaum Muslim meyakini bahwa surah-surah tertentu dari alQur’an memiliki khasiat khusus bagi pembaca atau pendengarnya.[14] 39 Di Indonesia, surah-surah seperti “Ya Sin” dan “al-Kahfi” dibaca secara rutin, khususnya pada setiap malam Jum’at. Beberapa surah seperti surah “Yusuf” dan “Maryam” dianggap berkhasiat bagi ibu-ibu hamil untuk menambah kecantikan atau kerupawanan anak yang akan dilahirkannya. Para dukun dan tabib biasanya memiliki ayat-ayat favorit yang mereka yakini dapat membantu menyembuhkan pasien-pasien mereka.
3. Tafsir-Tafsir
Penulisan tafsir juga memberikan peran yang sangat besar dalam menjadikan al-Qur’an kitab suci yang sempurna. Sejarah penafsiran al-Qur’an sendiri telah ada sejak zaman Nabi. Tentu saja, pada masa ini, upaya penafsiran dilakukan secara verbal dan disampaikan dalam halaqah-halaqah para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas dikenal sangat piawai dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
 Sejarah penulisan tafsir al-Qur’an baru mulai semarak pada abad ke-3 H/10 M, dimulai oleh Ibn jarir al-Tabari (w. 923 M). Pada mulanya, tafsir adalah upaya untuk memberikan penjelasan kepada ayat-ayat al-Qur’an, tapi dengan semakin berkembangnya tradisi ini, tafsir menjadi sebuah ilmu apologia untuk membentengi al-Qur’an dari kritik dan kecaman. Selama rentang abad ke-10 hingga abad ke-20 M, tafsir berperan seperti Teologi (ilmu kalam) dalam membentengi keilahian al-Qur’an. Peran tafsir sangat besar terutama dalam menjelaskan berbagai kontroversi dan kontradiksi antara ayat-ayat al-Qur’an.[15] 40 Tafsir juga sangat berperan dalam memberikan pembenaran terhadap ayat-ayat yang terlalu irasional atau bertentangan dengan fakta historis.[16] 41 Inti dari semua ini adalah untuk menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang sepenuhnya datang dari Allah dan sesuatu yang datang dari Allah tak mungkin cacat. 4. Larangan Terjemahan Berbeda dengan Injil yang sejak awal telah mengalami penerjemahan ke dalam bahasa asing,[17] 42 al-Qur’an tak pernah diterjemahkan hingga orang-orang Eropa melakukannya pada pertengahan abad ke-12.[18] 43 Kitab-kitab klasik ‘ulum alQur’an tak pernah membahas tentang terjemahan.
Kitab al-Itqan yang dianggap karya pamuncak genre studi al-Qur’an hanya memasukkan bab “tafsir dan ta’wil,” dan mengabaikan sama sekali pembahasan tentangterjemahan. Kendati kaum Muslim Arab telah berinteraksi dengan orang-orang non-Arab sejak masa awal Islam, mereka tak pernah memikirkan bahwa al-Qur’an bisa diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa non-Arab. Para ulama Islam tidak pernah menganjurkan upaya penerjemahan al-Qur’an. Bahkan sebagian mereka melarang dan mengharamkannya. Inilah yang menjelaskan mengapa terjemahan al-Qur’an dilakukan pertama kali oleh orangorang non-Muslim, khususnya di Eropa, dan bukan oleh orang-orang Islam. Namun, memasuki zaman modern, upaya penerjemahan al-Qur’an tidak bisa lagi dibendung. Seperti dijelaskan dengan sangat bagus oleh M. Ayoub, upaya penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa non-Arab, pada mulanya adalah sebuah kebutuhan untuk membendung misionaris Kristen.[19] negara-negara non-Arab merasa kesulitan berinteraksi langsung dengan kitab suci mereka, sementara para misionaris secara gencar menyebarluaskan kitab suci dengan bahasa lokal di mana kaum Muslim tinggal.
Untuk menandingi misionaris ini, para ulama akhirnya membolehkan penerjemahan al-Qur’an. Kendati demikian, upaya penerjemahan al-Qur’an selalu dikontrol secara ketat. Negara selalu mengambil peran dalam melakukan “penerjemahan resmi,” sementara upaya-upaya penerjemahan individual tidak pernah digalakkan, dan kalau perlu dilarang. Kasus terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris oleh Rashad Khalifa (The Qur'an: The Final Scripture) dan ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin (al-Qur’an Berwajah Puisi) adalah contoh betapa penerjemahan al-Qur’an secara individual bisa membahayakan pelakunya. Di atas ini semua, perlu digarisbawahi bahwa para ulama Islam hampir sepakat bahwa terjemahan al-Qur’ansesungguhnya bukanlah al-Qur’an. Al-Qur’an itu, menurut mereka, untranslatable, tidak bisa diterjemahkan. Pesannya jelas bahwa al-Qur’an dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang agung, yang suci, yang tak terwakili oleh bahasa non-Arab.
 5. Penciptaan Tabu-Tabu Penciptaan berbagai tabu atau larangan menyangkut kitab suci memainkan peran sangat penting dalam proses sakralisasi al-Qur’an. Tabu atau larangan menyangkut al-Qur’an sudah terjadi sejak awal sejarah Islam, namun pada masa itu belum banyak, khususnya karena al-Qur’an sebagai kitab suci belum sempurna. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi penulisan dan penjilidan, al-Qur’an sebagai kitab suci semakin memiliki sakralitas yang dipenuhi berbagai tabu berkaitan dengan cara bagaimana manusia membaca, menyentuh, membawa, dan memperlakukannya. Jalal al-Din al-Suyuthi mendaftar tak kurang dari sepuluh tabu menyangkut al-Qur’an.[20] 45 Sebagian dari tabu ini merupakan rekayasa belakangan dari para ulama, dan sebagian lainnya memang merupakan tabu yang diciptakan atau diinspirasikan oleh al-Qur’an sendiri. Hadis-hadis Nabi juga memiliki peran penting dalam memperkuat tabu-tabu menyangkut al-Qur’an. Di antara tabu yang sangat populer menyangkut al-Qur’an adalah bahwa “seseorang tidak boleh menyentuh al-Qur’an jika ia tidak memiliki wudhu.” Tabu ini datang dari al-Qur’an sendiri yang ditafsirkan secara tendensius oleh sebagian ulama. Dalam surah al-Waqi’ah (56) ayat 79, Allah berfirman: la yamussuhu illa al-mutahharun (tidak ada yang menyentuhnya kecuali orangorang yang suci). Sebagian besar ulama konservatif mengartikan “orang-orang yang suci” adalah orang-orang yang mempunyai wudhu. Tapi para mufasir besar seperti al-Razi dan al-Zamakhsyari mengartikan “orang-orang yang suci” adalah para malaikat, karena konteks ayat itu berbicara tentang kitab suci yang terjaga di surga (lawh al-mahfudh). Larangan menyentuh al-Qur’an merupakan hal penting berkaitan dengan penciptaantabu seputar al-Qur’an di tengah kaum Muslim. Pengertian “orangorang yang suci” kemudian meluas, bukan hanya orang yang tidak berwudhu, tapi juga orang-orang yang dalam katagori fikih disebut “tidak suci,” seperti perempuan yang sedang menstruasi, lelaki yang sedang janabah (junub), dan orang-orang kafir di luar Islam. Tabu ini juga kemudian diperluas, bukan hanya berkaitan dengan “sentuhan” tapi juga “bacaan.”
 Orang-orang yang tak suci itu bukan hanya tak boleh menyentuh al-Qur’an, tapi juga tak boleh membacanya. Kesucian menjadi syarat utama dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Argumen ini kemudian diperluas lagi, bukan hanya menyangkut orang yang menyentuh atau membacanya, tapi juga pada tempat di mana kitab suci itu diletakkan atau dibawa. Para ulama melarang keras membawa atau membaca al-Qur’an di dalam toilet atau kamar mandi. Pengaitan al-Qur’an dengan toilet kerap dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap kitab suci ini. Pengagungan kepada al-Qur’an juga dilakukan dengan menciptakan tabu-tabu yang dilandasi pandangan dunia Islam secara umum. Misalnya, larangan memegang al-Qur’an dengan tangan kiri, karena tangan kiri dianggap jelek. Dalam bentuk lain, tabu-tabu itu dilakukan dengan memberikan anjuran baik, seperti keharusan menyikat gigi (bersiwak) sebelum membaca al-Qur’an. Argumennya mudah ditebak, karena al-Qur’an adalah kata-kata Allah yang suci, maka untuk mengucapkannya, mulut manusia pun harus dalam keadaan suci dan bersih.[21] Kesimpulan Sebagaimana kitab suci lainnya, Al-Qur’an adalah produk sejarah manusia. Sebagai sebuah buku, al-Qur’an merupakan hasil dari proses panjang pengumpulan, penyeleksian, pengeditan, dan pencetakan, hingga akhirnya menjadi sebuah buku suci.
Sumber utama penulisan al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Pada mulanya, wahyu bersifat oral dan tidak pernah diniatkan secara sengaja sebagai sebuah kitab suci. Peng-kitab-an adalah upaya belakangan yang dilakukan oleh sahabat Nabi dan para generasi kaum Muslimselanjutnya. Sebagai sebuah proses manusiawi, peng-kitab-an tak lepas dari kekeliruan dan kesalahan. Klaim keterjagaan al-Qur’an,[22] dengan demikian, harus dipahami bukan dalam konteks manusiawi, tapi dalam konteks ilahi.[23] Kita agaknya harus membedakan antara “wahyu” dan “proses penulisan.” Wahyu adalah sesuatu yang tak bisa diperdebatkan. Klaim penerimaan wahyu adalah klaim subjektif yang berada di luar nalar ilmiah. Persoalan wahyu sepenuhnya adalah persoalan keimanan, dan bukan persoalan ilmu pengetahuan. Sementara itu, penulisan adalah proses manusiawi yang bisa diuji dan diterokai secara obyektif. Proses penulisan kitab suci, lebih dari sekadar proses penulisan buku, melibatkan berbagai unsur: budaya, bahasa, politik, dan kekuasaan.
Bentuk final dari kitab suci adalah perjalanan panjang dalam mengakomodasi seluruh unsur ini. Perdebatan seputar sejarah kitab suci sebaiknya hanya dibatasi pada persoalan proses pembukuan saja dan tidak mempertanyakan soal “validitas wahyu.” Validitas wahyu adalah persoalan lain yang berada di luar konteks penulisan sejarah. Sakralisasi al-Qur’an berkaitan erat dengan proses pembentukan dan perjalanan wahyu sebagai kitab suci. Sebagaimana proses pembukuan itu sendiri, proses sakralisasi berkembang mengikuti perkembangan sejarah penulisan al-Qur’an. Pencusian (anggapan suci), pada akhirnya, adalah konstruksi sebuah masyarakat. Dia tidak datang begitu saja dari benda-benda yang disucikan. Al-Qur’an dianggap suci karena ada sekelompok masyarakat yang menganggapnya demikian.


[1] Ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah, gagasan penulisan wahyu tampaknya merupakan inisiatif para sahabat perorangan. Nabi tidak melarang inisiatif itu. Bahkan, kemudian dia melarang menuliskan kata-katanya pribadi (yang kemudian dikenal dengan “hadis”), agar tidak tercampur dengan wahyu.
[2] Q.S. 3:53; 5:83.
[3] Q.S. 2:183; 2:216; 4:77.
[4] Q.S. 2:44, 87, 89, 113, 129, 174, 176, 177.
[5] Misalnya, Q.S. 2:151, 231; 3:48, 81.
[6] Al-Suyuthi. al-Itqan, vol 2, hal. 149.
[7] Ibid.
[8] Sebagian musuh-musuh Nabi di Mekah mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an adalah ciptaan Muhammad semata, dan bukan wahyu yang datang dari Allah. Menurut mereka, siapapun bisa membuat ayat-ayat semacam itu. Untuk merespon pandangan ini, al-Qur’an kemudian meresponnya dengan memberikan tantangan membuat surah seperti al-Qur’an.
[9] Q.S. 52:34.
[10] Q.S. 11:13.
[11] Q.S. 2:23, 10:38.
[12] Q.S. 17:88.
[13] 38 Khususnya pada masa-masa awal Islam, seperti yang dilakukan oleh al-Musaylamah, seorang yang dipercaya mengarang banyak sekali ayat mirip al-Qur’an, namun sayangnya tak banyak yang sampai ke kita.
[14] 39 Al-Suyuthi mengarang sebuah kitab berjudul Hamail al-Zahr fi Fadhail al-Suwar (para pembawa bunga tentang kehebatan surat-surat), di mana ia menjelaskan khasiat setiap surah dalam al-Qur’an.
[15] 40 Misalnya antara ayat yang menganjurkan untuk membunuh kaum kafir di mana saja kaum Muslim menjumpai mereka (Q.S. 2:191), dengan ayat yang melarang pembunuhan manusia (Q.S. 17:33).
[16] 41 Misalnya ayat tentang kisah “Ashabul Kahfi,” tentang “Alexander the Great,” dan ayat tentang “Penghancuran Ka’bah oleh Abrahah.”
[17] 42 Bahkan pengumpulan pertamakali kitab suci dilakukan dalam bahasa Yunani. Adapun manuskrip bahasa aselinya, yakni Syriac, sampai hari ini tak pernah dijumpai.
[18] 43 Terjemahan al-Qur’an pertama dilakukan oleh Robert of Ketton, seorang pendeta Inggris, ke dalam bahasa Latin pada tahun 1143. Terjemahan ini dinilai sangat buruk karena Ketton tidak menguasai bahasa Arab dengan baik. Terjemahan itu dibantu oleh seorang Muslim asal Cordova, Spanyol. Lebih jauh tentang ini, lihat Harry Clark. “The Publication of the Koran in Latin: A Reformation Dilemma.” Sixtenth Century Journal, vol. 15, no. 1, Spring 1984.
[19] 44 Kaum Muslim di   44 M. Ayoub, “Translating the Meaning of the Quran: Traditional Opinions and Modern Debates,” Afkar Inquiry, Vol. 3, No. 5 (Ramadan 1406/May 1986).
[20] 45 Al-Suyuthi. al-Itqan, vol 1, hal. 130.
[21] Sebenarnya ada sebuah hadis Nabi yang mendukung argumen ini, yakni: inna afwahakum turuqun li a-lqur’an, fatayyibuha bi al-siwak (mulut-mulut kalian adalah tempat lewatnya alQur’an, maka bersihkanlah dengan siwak).
[22] Seperti dinyatakan dalam surah 15: 9, Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidzun (kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan kami pula yang menjaganya).
[23] Di sinilah konsep “kitab induk” (umm al-kitab) memainkan perannya. Dalam Q.S. 85:22, “kitab induk” merujuk kepada “al-Qur’an ideal” yang selalu terjaga di alam arwah: bal huwa qur’anun majid, fi lawhin mahfudz (dialah al-qur’an yang mulia, yang ada dalam tablet terjaga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar