AS Dibalik Musibah Tsunami? Antara Ada Dan Tiada
Judul tulisan diatas mungkin terlihat sangat provokatif . Bahkan oleh sebagian orang (mereka yang menolak teori konspirasi) pasti akan menolaknya. Argumentasinya, tidak berdasarkan fakta, cenderung mengada-ngada, terlalu meng-imajinasi, cenderung menyalahkan pihak luar dan lari dari kenyataan (eskapis). Tetapi jika kita baca di banyak grup diskusi di internet, sejumlah analisis bahwa Amerika berada dibalik bencana Tsunami banyak bermunculan. Sebuah analisis yang mungkin bisa membuat tertawa banyak orang.
Mencurigai AS
Di sebuah Tabloid nasional, dimuat sebuah pesan pendek (SMS) yang dikirimkan oleh salah satu tokoh nasional yang sering juga berhubungan dengan intel, tak lama setelah kedatangan tentara AS di perairan Aceh. Bunyinya, “Tsunami datang dan pergi. Paman Sam datang, dan tak akan pergi. Selamat tinggal Serambi Mekkah, selamat datang Serambi Las Vegas”.
Kedatangan
tentara asing dalam jumlah ribuan, memang membuat rasa curiga yang tinggi serta
penolakan keras dikalangan masyarakat muslim Indonesia. Maklumlah, jumlah
tentara asing itu ribuan. Amerika Serikat saja, mengirim tak kurang dari 17
ribu personelnya. Bahkan hampir setiap hari kapal induk nuklir Amerika, USS
Abraham Lincoln, menurunkan 7000 personel (jumlah ini setara dengan seluruh
jumlah personel Kopassus) ke daratan Aceh. Selain itu, AS juga dikenal sebagai
negara yang sering mempertontonkan kebiadaban pada negara lain, khususnya kaum
muslim. Oleh karena itu dalam Islam, negara seperti ini terkategori “kafir
harbi muhariban fi’lan” (negara kafir yang harus diperangi disebabkan memerangi
Islam).
Kepala
Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar sendiri pernah mengungkapkan rasa
syak wasangka itu. Syamsir menilai, personel militer asing, terutama AS dan Australia,
memanfaatkan kehadiran mereka untuk kepentingan tertentu. “Itu sudah pasti (ada
kepentingan tertentu). Alangkah bodohnya kalau tidak seperti itu” ujarnya pada
Rapat Kerja dengan Komisi I DPR 20 Januari. Sebelumnya, Amerika juga pernah
beberapa kali menginginkan dapat ikut mengontrol selat Malaka. Amerika
beralasan, selat ini adalah salah satu jalur subur bagi para teroris. Karena
itu, mereka memandang penting untuk ikut menempatkan armadanya di selat paling
sibuk di dunia itu. Keinginan Amerika ini ditolak Indonesia
dan Malaysia.
Adapun Singapura cenderung menerimanya.
Karena
itulah, rasa curiga bahwa Amerika dibalik musibah tsunami semakin menguat.
Salah satunya diungkapkan oleh media lokal India Daily Editorial tanggal 29
Desember 2004, dengan memberikan pertanyan terbuka tentang kejadian itu,
“Apakah ini merupakan pameran kekuatan suatu negara kepada suatu daerah?”
Memang, pertanyaan yang muncul
kemudian adalah, sedemikian hebatkah negara Paman Sam hingga mampu menciptakan
“kiamat kecil” ini ? Benarkah Wall
Street (New
York) merupakan pemrakarsa bencana 26 Desember?
Untuk
menjawab analisis ini, ada fakta-fakta berikut ini. Pertama, mengenai letak
epicentrum (pusat gempa pada permukaan bumi). Australia
merekam magnitudo dan posisi episentrum sesuai dengan yang ditentukan oleh
kantor Geofisika Jakarta,
yaitu gempa berukuran 6,4 skala richter menimpa utra pulau Sumatera. Titik
gempa berada di 155 mil Selatan-Tenggara provinsi Aceh.
Lokasi
ini berbeda 250 mil dari posisi yang ditentukan oleh NOAA Amerika, yang
menyatakan bahwa episentrum berada di Barat daya Aceh. Mereka juga mengatakan
bahwa kekuatan gempa adalah 8,0 skala richter, dan kemudian terus memperbaiki
laporan dengan meningkatkan skala richter yang ada menjadi 8,5 lalu 8,9 sampai
akhirnya 9,0. Maka, keanehan pertama adalah informasi oleh NOAA Amerika, yang
tiba-tiba menemukan puncak gelombang “fleksibel”, yang bahkan jauh lebih besar
dari yang dirasakan oleh Jakarta. Padahal, Jakarta terletak jauh lebih dekat ke titik
pusat gempa dibandingkan AS.
Dalam catatan
sejarah, tidak pernah ada yang namanya pusat gempa “fleksibel”, pada umumnya
hanya akan ada satu titik gempa saja, itupun akan tercatat oleh lusinan
seismograf di Indonesia dan India. Kedua,
selain perbedaan yang begitu jauh dalam nilai skala richter, Indonesia dan India juga mendapatkan keanehan
lain. Di saat pusat gempa mulai bergetar dan mengirimkan peringatan adanya
gempa kepada semua seismograf dalam bentuk gelombang transversal (tegak). Jika
gelombang yang diterima oleh seismograf adalah gelombang P, maka yang terjadi
adalah gelombang akibat gempa bawah tanah atau bawah laut. Nyatanya, gelombang
P inilah yang diterima oleh Indonesia
dan India.
Gelombang ini secara mengejutkan sangat mirip dengan gelombang yang dihasilkan
beberapa tahun lalu oleh senjata nuklir skala besar dibawah tanah di Nevada
Amerika.
Ketiga,
adanya tanda dari India. India
segera “sadar” bahwa gempa ini bukanlah gempa “normal”. Sehari setelah bencana,
Senin 27 Desember 2004 mereka memutuskan untuk menolak bergabung dalam rencana
Amerika yang akan menarik semua kekuatan nuklir di Asia. Dan keesokan harinya
pemerintah India menyatakan
tidak akan menerima bantuan dari Amerika sekaligus meminta agar militer Amerika
menjauhi wilayah kekuasaan India.
Keempat,
Pada 27 Desember pagi, sehari setelah bencana, media Australia (yang dimiliki
oleh New York) menyatakan bahwa negara yang paling parah terkena tsunami adalah
Sri Langka, yang juga adalah anggota persemakmuran Inggris, seperti Australia
juga. Tim Costello, Kepala Yayasan dana amal terbesar di Australia, segera
mempersiapkan diri untuk menuju daerah bencana sambil mengumpulkan bantuan.
Sedangkan Little Jhony (orang kuat Wall Street) melakukan tindakan berbeda,
yang nampaknya diberitahukan kepadanya melalui hubungan telepon pribadi. Dengan
cara yang sangat rahasia, Little Jhony mengirimkan dua Hercules RAAF yang
dipenuhi dengan suplai ke Malaysia, dalam posisi “stand by” dan mengarahkan dua
pesawat lainnya ke Darwin Australia.
Yang aneh disini
adalah, bahwa jika benar Little Jhony memiliki rasa kemanusiaan, maka ia
akan segera mengirim keempat pesawat itu ke Sri Langka, tetapi nyatanya tidak. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya Little Jhony
menunggu perintah khusus dari New
York. Tak lama kemudian setelah pesawat pengintai
menyatakan bahwa landasan di Medan
aman, maka keempat pesawat Hercules RAAF lengkap dengan pasukan, senapan dan
perlengkapan lain segera “menyerbu” Aceh. Perlu diingat bahwa ketika keempat
pesawat itu mendarat di Medan, publik Australia belum
banyak yang menyadari apa yang terjadi. Maka terlihat bahwa Jhony sedang
membantu atasannya untuk mempersiapkan Asia (Aceh) menjadi basis baru, setelah
rencana terhadap Iraq
gagal total.
Tidak
perlu diragukan lagi bahwa Australia hanyalah “pasukan awal” yang akan segera
diikuti oleh militer AS yang lebih siap dan lebih lengkap perlengkapannya. Dan
terbukti, dalam sekejap Pentagon mengirimkan dua kelompok tempur untuk segera
berlayar hanya dengan modal pemberitahuan mendadak dari Hong Kong dan Guam,
padahal hari itu hari libur Natal
dan Tahun Baru. Sepertinya pasukan ini memang sudah disiagakan sejak awal.
Dari Hong Kong, bertolaklah kapal induk USS Abraham Lincoln. Dari Guam, tak mau ketinggalan bertolaklah USS Bonhomme Richard (kapal angkut tempur amphibi penuh dengan marinir yang dikenal dengan nama “Expeditionary Strike Group 5”).
Dari Hong Kong, bertolaklah kapal induk USS Abraham Lincoln. Dari Guam, tak mau ketinggalan bertolaklah USS Bonhomme Richard (kapal angkut tempur amphibi penuh dengan marinir yang dikenal dengan nama “Expeditionary Strike Group 5”).
Semua
skenario diatas, masih menurut analisis yang sama, adalah untuk memaksakan agar
Asia “menyerah” dan supaya dapat mengamankan kontak besar dalam usaha pembangunan
ulang Aceh, yang paling mudah dilakukan adalah membuat tsunami dengan target
negara tertentu. Cara ini, pernah dirancang baik oleh Rusia, Amerika untuk
saling merebut kekuasaan di kota
pesisir mereka. Cara ini cukup efektif dan bersih, sehingga penyerang dapat
segera mengambil alih tanah dan bangunan yang tersisa dalam waktu singkat. Jika
semua sesuai rencana, maka Indonesia, Sri Langka kecuali India harus berhutang
sekali lagi kepada IMF dan Bank Dunia, untuk 30 tahun lagi. Waktu yang cukup
untuk menunggu harga minyak turun setelah kegagalan besar-besaran di Irak.
Walhasil, AS dibelakang musibah tsunami ini memang antara ada dan
tiada. Namun, sebetulnya kita tidak mempersoalkan apakah musibah tsunami memang
ulah AS atau “tsunami normal”. Yang jelas, seluruh elemen masyarakat dan
pemerintah mesti selalu waspada terhadap kepentingan lain Amerika dan negara
asing. Apalagi, saat ini Indonesia,
masuk sebagai negara target operasi intelijen Amerika.
MSN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar