Senin, 18 November 2013

ILMU KALAM(Sebuah kritis kesejarahan)

Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(1/2)

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam.
Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.
Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama).
Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama.
Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam.
Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced).
Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.

Pertumbuhan Ilmu Kalam

Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III.
Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika.
Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme).
Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh.
Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar