Senin, 18 November 2013

TAFSIR AL-KASYSYAF(Az-Zamakhsyari)


C. Tafsir al-Kasysaf
1. Latar Belakang Penulisan
Al-Zamakhsyarî menulis kitab tafsirnya yang berjudul al-Kasysaf ‘an Haqâ`iq Gawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî al-Wujûh al-Ta’wîl[1] bermula dari suatu permintaan kelompok yang menamakan diri al-Fî`ah al-Nâjiyyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di sini adalah salah satu kelompok aliran Mu’tazilah. Dalam mukadimah Tafsîr al-Kasyaf disebutkan sebagai berikut: “… mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Qurâ`n dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.” Atau dengan kata lain al-Kasysaf ini ditulis atas permintaan teman-temannya dari Mu’tazilah, yang menginginkan adanya penafsiran yang menggabungkan kemampuan bahasa Arab dengan teologi. Pada awalnya, dia enggan untuk melakukannya, tapi kemudian karena adanya permintaan dan dorongan yang sangat kuat sekali, akhirnya dia berusaha keras menyelesaikan bukunya dalam kurun waktu lebih dari dua tahun. Kitab ini adalah satu-satunya kitab tafsir yang dimiliki oleh Mu’tazilah yang kini bisa sampai kepada kita sekarang ini. Kitab ini juga merupakan salah satu sumber referensi penting dalam penafsiran sekarang.
Nilai yang khusus dari kitab tafsir al-Kasysaf ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Kitab tafsir ini mampu membuka pandangan kita terhadap rahasia retoris yang terdapat dalam al-Qur`ân, aspek i’jaznya dan arti yang terdapat pada susunan katanya (nazhm).
  2. Tidak ada cerita Isrâ`iliyyat dalam tafsir ini. Sikap yang sama juga ditemukan dalam kebiasaan Mu’tazilah.
  3. Kitab ini tidak terlalu banyak menekankan pada dongeng dan tidak sering mengutip tradisi fadhâ`il al-suwar, yang secara umum dianggap sesuatu yang salah .
  4. Kitab ini menggunakan rasionalisme sebagai faktor dominan dalam pembuatan kitab. Dan jika ada tradisi dari para sahabat ataupun tabi’in yang berlawanan dengan ajaran Mu’tazilah, maka harus ditolak.
  5. Jika tidak terjadi kontradiksi antara ajaran al-Qur`ân dan prinsip ajaran Mu’tazilah, dia akan melakukan usaha penilaian dengan membawa kembali ayat yang dianggap mutasyâbihat (mempunyai dua arti) menjadi muhkâmat (mempunyai arti yang pasti).
  6. Kitab tafsir ini sering mengutip syair dalam rangka memperkuat tafsir agar cocok dan sesuai dengan ajaran Mu’tazilah.
Dalam tulisannya yang terdapat dalam Tafsîr al-Kasysaf, al-Zamakhsyarî tidak saja menujukkan keluasan ilmunya dengan menguraikan arti yang mendalam yang terkandung di dalam al-Qur`ân, tapi dia juga menunjukkan kemampuannya menggali rahasia lebih lanjut yang terkandung dalam i’jaz al-Qur`ân.  I’jaz al-Qur`ân, menurut al-Zamakhsyarî haruslah berupa nazhm. Nazhm seharusnya dianggap sebagai induk i’jaz al-Qur`ân. Nahzm bisa dilihat dalam bentuk keindahan redaksi dalam penyusunan frase dan selektifitas kata yang tinggi dalam pewahyuan. Lebih dari itu, ia juga mengikuti aksioma aturan gramatikal. Metode ini dipraktekkan oleh al-Zamakhsyarî dalam menjelaskan al-Qur`ân dari aspek estetika.
            Dalam kitabnya, al-Zamakhsyarî sangat dipengaruhi oleh teori-teori nazhm al-Jurjânî.  Dalam teori nazhm-nya, al-Jurjânî mengatakan, kalimat tunggal tidak mempunyai arti yang jelas di antara kata-kata lain dan bahwa ide itu tidak ada tanpa kata-kata. Dari sinilah, mereka tidak bisa menilai secara terpisah. Nazhm-lah yang bisa menciptakan arti yang jelas. Kata-kata yang tersusun secara berbeda mempunyai arti yang berbeda pula. Oleh karena itu gaya bahasa yang terbaik adalah gaya yang memiliki kemungkinan konstruksi yang terbaik pula untuk menunjukkan arti yang terbaik pula. Dan hal itu bisa dicapai dengan memilih kata-kata yang paling ekspresif untuk sebuah tujuan dan menempatkan mereka dalam susunan yang paling serupa. Menurut al-Jurjânî, al-Qur`ân menggunakan nazhm yang terbaik. Sehingga ketika orang Arab mendengarnya mereka akan sadar bahwa mereka tidak mampu untuk menandinginya. Karena tingkat keistimewaan bahasa terbagi-bagi, hanya rasa dan sensitifitas yang didasarkan pada pengalaman estetika yang lama dan didasarkan pula pada pengetahuan litelatur yang bisa membantu seseorang memperoleh ketajaman.
            J. J G. Jansen melihat karya al-Zamakhsyarî bukan merupakan komentar dogmatik melainkan filologi dan sintaksis yang esensial. Al-Zamakhsyarî menganalisis gaya bahasa dalam teks; hal ini membuat komentarnya terkenal dan berharga. Dia juga mencakupkan materi tradisional dan kitab Islam yang biasanya digunakan untuk membuktikan arti kata tertentu. Al-Zamakhsyarî mengharapkan pada pembacanya agar familiar dengan peraturan grammar klasik, dimana kata yang terselubung seringkali sulit diikuti. Sebagai contoh, Q.S. Al-`An’âm: 2, “Dan sesudah itu ditentukannya ajal yang ada pada sisi-Nya” (wa azal musammâ ‘indahu) susunan kata frase ini berlawanan dengan kalimat dalam bentuk normal, dimana predikat mengandung preposisi (‘inda, ‘with’) dan kata kerja dan kata ganti (hu, ‘him’), dan dimana subjek (ajal, ‘term’) menentukan, predikat mendahului subjek.

2. Sumber Penulisan
Secara dominan, Tafsîr al-Kasyaf dapat dikategorikan pada tafsir bi al-ra’yî, yakni tafsir yang menggunakan sumber nalar (akal). Sumber Tafsîr al-Kasyaf merupakan kebalikan dari tafsir bi al-matsûr yang menggunakan sumber penafsiran yang diambil dari ucapan nabi, sahabat dan tabi’in.
            Sumber tafsir matsûr/atsârî dapat dididefiniskan dengan tafsir yang diambil dari sabda Nabi, ucapan para sahabat dan tabi’in. Selanjutnya tafsir ‘aqlî yang didefinisikan dengan ‘usaha yang sungguh-sungguh menggunakan perangkat pikir manusia dalam memahami al-Quran disertai dengan pemeliharaan syarat-syarat tertentu sebagai seorang mufasir sebagaimana yang telah disepakati.’
            Istilah ‘aqlî pada dasarnya hanya untuk membedakan dengan istilah atsari. Aqli sebagai uapaya mendekati al-Qur`ân atau sumber penafsiran al-Qur`ân dengan perangkat nalar atau pemikiran semata dan atsari adalah upaya mendekati al-Quran atau sumber penafsiran al-Qur`ân dengan riwayat-riwayat atau informasi yang diterima dari subyek penafsir yang tiga yaitu Nabi, sahabat dan tabi’in. Tetapi pada kenyataannya, tidak ada tafsir yang terlepas secara keseluruhan dari kedua sumber (atsârî dan ‘aqlî) sama sekali. Karenanya penisbahan sumber tafsir kepada aqlî atau sebaliknya hanya merupakan dominasi penggunaan sumber dari mufasir bukan secara total. Al-Zamakhsyarî, misalnya, beliau sering juga mengutip hadits Nabi atau pendapat sahabat. Sumber yang senada dengan apa yang digunakan oleh al-Kasyaf pada realitanya banyak, misalnya Tafsîr al-Manâr karya Muhammad ‘Abduh, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur`ân karya Sayyid Quthb, Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya al-Râzî dan sebagainya.
            Klasifikasi ‘aqlî yang dikenakan pada Tafsîr al-Kasyaf pada kenyataannya adalah klasifikasi yang bersifat dominan saja, karena beliau (al-Zamakhsyarî) juga menggunakan informasi-informasi baik dari Nabi maupun dari informasi lainnya. Sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Zamakhsyari dalam menulis kitab tafsirnya meliputi berbagai bidang ilmu, antara lain:
Sumber Tafsir
            Kitab-kitab tafsir yang menjadi sumber al-Zamakhsyari antara lain:
  1. Tafsir Mujâhid (w. 104 H).
  2. Tafsir ‘Amr Ibn ‘Ash Ibn ‘Ubaid al-Mu’tazilî (w. 144 H).
  3. Tafsir Abi Bakr al-Mu’tazilî (235 H).
  4. Tafsir al-Zajjaz (w. 311 H).
  5. Tafsir al-Rumânî (w. 382 H).
  6. Tafsir ‘Alî Ibn Abî Thâlib dan Ja’far al-Shâdiq.
  7. Tafsir dari kelompok Jabariyah dan Khawârij.

Sumber Hadis
            Dalam menafsirkan al-Qur`ân, al-Zamakhsyarî mengambil dari berbagai macam hadis, tetapi yang disebutkan secara jelas hanya Shahîh Muslim. Ia biasanya menggunakan istilah fî al-hadîts.
Sumber Qiraat
            Adapun sumber qiraat yang diambil antara lain:
  1. Mushhaf ‘Abd Allâh Ibn Mas’ûd.
  2. Mushhaf Hârist Ibn Suwaid.
  3. Mushhaf Ubay Ibn Ka’ab.
  4. Mushad ulama Hijâz dan Syâm.

Sumber Bahasa dan Tata Bahasa
Bahasa atau tata bahasa adalah sumber yang paling banyak dipergunakan oleh al-Zamakhsyarî dalam menafsirkan al-Qur`ân, untuk lebih banyak mengungkapkan kemukjizatan al-Qur`ân. Adapun sumber-sumber yang diambil antara lain:
  1. Kitab an-Nahwî, karya Sibawaihi (w. 146 H).
  2. Ishlah al-Manhtîq, karya Ibn al- Sukait (w. 244 H).
  3. Al-Kâmil, karya al-Mubarrad (w. 285 H).
  4. Al-Mustammim, karya ‘Abd Allâh Ibn Dustûriyyah (w. 347 H).
  5. Al-Hujjah, karya Abî ‘Alî al-Fârisî (w. 377 H).
  6. Al-Halâbiyyat, karya Abî ‘Alî al-Fârisî (w. 377 H).
  7. Al-Tamam, karya Ibn al-Jinnî (w. 392 H).
  8. Al-Muhtasib, karya Ibn al-Jinni (w. 392 H).
  9. Al-Tibyan, karya Abi al-Fath al-Hamdani.

Sumber Sastra
Di antara kitab sastra yang menjadi rujukan adalah:
  1. Al-Haran, karya al-Jâhiz.
  2. Hamasah, karya Abi Tamam.
  3. Istagfir dan Istagfiri, karya Abî al-Abd al-Mu’arri.

D. Karekteristik Tafsîr al-Kasyaf
            Karekteristik berarti, berbicara mengenai unsur-unsur tertentu sebagai sub-sub dari karekteristik, yang terdiri dari sumber, metode dan corak tafsir. Karekteristik Tafsîr al-Kasysaf, dengan demikian berbicara mengenai ketiga hal tersebut.
Metode Tafsîr al-Kasyaf
Dilihat dari penulisan Tafsîr al-Kasyaf, maka tafsir tersebut dapat dikategorikan pada tafsir tahlîlî, dalam artian bahwa penafsiran al-Zamakhsyarî dalam Tafsîr al-Kasyaf merujuk pada susunan mushhaf ‘utsmânî yakni dari al-Fâtihah sampai surat al-Nâs secara runtut (hasba tartîb al-suwar) dengan analisa-analisa baik kebahasaan, sebab turun suatu ayat, hadis, pendapat para ulama lain selain dirinya dan sebagainya
Corak Tafsîr al-Kasyaf
Karekteristik dari corak ini dapat terlihat dari pembentukan rasionalitas-metodologis penafsiran hingga penerapannya dalam merasionalkan ayat-ayat al-Qur`ân untuk mendukung doktrin-doktrin Mu’tazilah. Banyak sumber yang mendukung pernyataan Zamakhsyari dalam aspek teologis memiliki kecenderungan pada Mu’tazilah. Pernah diceritakan bahwa ketika beliau menulis karya tafsirnya yang terkenal, ia memulainya dengan kata “Segala puji bagi Allâh yang telah menjadikan al-Qur`ân”. Tetapi, beliau dinasehati oleh seorang temannya, agar ia membuang kata-kata tersebut, karena orang akan meninggalkan kitabnya dan tidak mau membacanya. Lalu beliau merubah “menjadikan al-Qur`ân” menjadi “Segala puji bagi Allâh yang telah menciptakan al-Qur`ân”.
Dari petikan tersebut jelaslah bahwa al-Zamakhsyarî adalah penganut mazhab Mu’tazilah yang mana salah satu konsepnya adalah bahwa al-Quran bukan merupakan kalamullah tetapi merupakan ciptaan Allâh (mahluk). Adapun rumusan prinsip rasionalitas metodologis didasarkan pada surat Ali ‘Imrân ayat 7. Selanjutnya dapat ditelusuri bahwa ayat-ayat muhkâmat itu berada dalam kerangka doktrin-doktrin Mu’tazilah yang terhimpun dalam ushûl al-khamsah, yaitu [1]. Tauhid, [2]. Adl, [3]. Al-Wa’ad dan al-Wa’îd, [4]. Manzilah bain al-Manzilatain dan [5]. Amar Ma’rûf Nahy al-Munkar. Sedang semua ayat yang zhahirnya bertentangan dengan ushul al-khamsah itu maka termasuk dalam kategori mutasyâbihat. Untuk menopang rasionalitasnya ini, al-Zamakhsyarî dalam Tafsîr al-Kasysaf sering memanfaatkan pengetahuan bahasa, sastra, gramatika bahkan qira’at.
            Mengenai corak Tafsîr al-Kasysaf, dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Al-Zamakhsyarî terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bahasa Arab, yang meliputi sastranya, balagahnya, nahwunya atau gramatikanya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau bidang-bidang keahliannya itu juga sangat mewarnai hasil penafsirannya.
  2. Al-Zamakhsyarî adalah seorang teolog (mutakallimîn) sekaligus seorang tokoh Mu’tazilah, kedua predikat ini juga mewarnai penafsirannya yang tertuang dalam Tafsîr al-Kasysaf, sehingga tafsir tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih khusus lagi corak Mu’tazilah (laun al-i’tizal).


[1] Husayn al-Dzahabī mengelempokkan tafsir al-Zamaksyarī dalam kategori tafsir corak rasio yang tercela. Selain tafsir al-Zamahsyarī, al-Dzahabī menyebut beberapa tasfir lain yang termasuk kategori tafsir corak rasio yang tercela, yaitu Tazīh Al-Qur´an ‘an al-Mathā’in karya al-Qādhī ‘Abd al-Jabbār al-Mu’tazilī (w. 415 H), Majma’ al-Bayān li ‘Ulūm Al-Qur´ān karya Abū ‘Alī al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thabarsī (w. 538 H) dan al-Shāfī fī Tafsīr Al-Qur´ān al-Karīm karya Muhsin al-Kāsyī (wafat akhir abad 11 H) dari sekte Syi’ah Imāmah Itsnā ‘Asysriyyah, Fath al-Qadīr karya Muhammad ibn al-Syawkānī (w. 125 H) dan Tafsīr ‘Atiyyah al-Najrānī al-Zaydī (w. 665 H) dari sekte Syi’ah Zaydiyyah serta Hamyān al-Zād ilā Dār al-Ma’ād karya Muhammad ibn Yūsuf Ithfayasy (w. 1332 H) dan Tafsīr Hūd ibn Mahkam al-Hawārī dari sekte Khawārij ibādhiyyah (sarjana yang hidup sekitar abad 3 H). Lihat, al-Dzahabī, Muhammad Husayn, ‘Ilm al-Tafsīr, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, t.t.), hlm. 67-69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar